Suatu saat, KH Ma’ruf Irsyad bersama Ibu Nyai Munijah sowan KH Arwani
Amin. Di dalem Mbah Arwani, Kiai Ma’ruf dan Nyai Munijah dipersilakan
duduk di tempat yang telah disiapkan sebelumnya. Kiai Ma’ruf kaget
karena Mbah Arwani justru duduk lebih rendah dari tempat yang disediakan
itu.
Melihat pemandangan tidak wajar itu, Kiai Ma’ruf bertanya, “Mbah yai, jenengan kok duduk di bawah.” Mbah Arwani menjawab tegas, “yang datang sowan ke saya ini istrinya teman guru saya.”
Tentu Kiai Ma’ruf kikuk mendapatkan perlakukan istimewa dari sang guru, KH Arwani Amin, yang selain alim-allamah, juga disebut Mbah Hamid Pasuruan sebagai sosok waliyullah Kudus yang sangat dikenal akhaq mulianya.
Tidak hanya di ruang tamu, ketika pulang pun, Kiai Ma’ruf tambah dibuat heran dan kagum. Jalan menuju pulang penuh dengan kerikil batu yang mengganggu. Tanpa diduga, Mbah Arwani menyingkirkan kerikil tersebut dengan tangannya sendiri, tidak memerintah kang santri agar perjalanan pulang istri teman guru lancar.
“Mbah yai, ampun, sudah, tidak usah mbah yai,” kata Kiai Ma’ruf.
“Sudah, diam saja,” sahut Mbah Arwani tetap menyingkirkan kerikil yang sebetulnya tidak perlu.
Cerita di atas dituturkan sendiri oleh KH Ma’ruf Irsyad di sela-sela mulang ngaji santri di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin (PPRM), Jagalan Kudus.
Apa yang dilakukan oleh Mbah Arwani tersebut bukan sesuatu yang berlebihan dan sia-sia. Itu adalah praktik melimpah atas akhlaq hormat seorang alim kepada istri teman guru. Bayangkan, bukan gurunya, tapi istri teman dari gurunya.
Nyai Munijah, ibu Kiai Ma’ruf Irsyad, adalah istri KH Irsyad yang berteman akrab dengan guru KH Arwani Amin bernama Mbah Mansur, Popongan, Klaten. Kepada Mbah Mansur yang asli Mranggen inilah Kiai Arwani belajar thariqah.
Melihat pemandangan tidak wajar itu, Kiai Ma’ruf bertanya, “Mbah yai, jenengan kok duduk di bawah.” Mbah Arwani menjawab tegas, “yang datang sowan ke saya ini istrinya teman guru saya.”
Tentu Kiai Ma’ruf kikuk mendapatkan perlakukan istimewa dari sang guru, KH Arwani Amin, yang selain alim-allamah, juga disebut Mbah Hamid Pasuruan sebagai sosok waliyullah Kudus yang sangat dikenal akhaq mulianya.
Tidak hanya di ruang tamu, ketika pulang pun, Kiai Ma’ruf tambah dibuat heran dan kagum. Jalan menuju pulang penuh dengan kerikil batu yang mengganggu. Tanpa diduga, Mbah Arwani menyingkirkan kerikil tersebut dengan tangannya sendiri, tidak memerintah kang santri agar perjalanan pulang istri teman guru lancar.
“Mbah yai, ampun, sudah, tidak usah mbah yai,” kata Kiai Ma’ruf.
“Sudah, diam saja,” sahut Mbah Arwani tetap menyingkirkan kerikil yang sebetulnya tidak perlu.
Cerita di atas dituturkan sendiri oleh KH Ma’ruf Irsyad di sela-sela mulang ngaji santri di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin (PPRM), Jagalan Kudus.
Apa yang dilakukan oleh Mbah Arwani tersebut bukan sesuatu yang berlebihan dan sia-sia. Itu adalah praktik melimpah atas akhlaq hormat seorang alim kepada istri teman guru. Bayangkan, bukan gurunya, tapi istri teman dari gurunya.
Nyai Munijah, ibu Kiai Ma’ruf Irsyad, adalah istri KH Irsyad yang berteman akrab dengan guru KH Arwani Amin bernama Mbah Mansur, Popongan, Klaten. Kepada Mbah Mansur yang asli Mranggen inilah Kiai Arwani belajar thariqah.