Minggu, 20 Maret 2016

Kiai dan Burung Beo




Kiai karim adalah seorang kiai yang ‘alim, beliau punya banyak santri yang menetap dipesantren asuhannya, meski seorang kiai, kiai karim punya hobby unik, mengoleksi burung dan memeliharanya, sesekali setiap pagi selepas mengajar ngaji beliau mendengarkan cuitan-cuitan burung koleksinya, diantara banyak burung yang beliau miliki, burung beo-lah satu-satunya yang rutin mendapat perhatian dari kiai karim
Karena burung beo dapat menirukan suara manusia, kiai karim mengajarinya dengan macam-macam dzikir, seusai mahir “berdzikir”, setiap hari, pagi-sore beliau sempatkan sekira berapa waktu untuk mendengarkannya, hitung-hitung ikut serta berdzikir bersama burung beo, batinnya.
Hingga suatu ketika, beo yang kerap menjadi teman berdzikirnya itu mati, kiai karim terlihat murung dan kurang bergairah kala mengisi pengajian kitab dipesantren yang diasuhnya.
“semenjak kematian beo, kiai karim tampaknya kurang bergairah ya kang?, sebagai santri kita harus melakukan sesuatu agar kiai karim bisa mengajar seperti sedia kala”, ujar kang miftah, salah seorang santri dipondok kiai karim.
“bagaimana kalau kita patungan buat beli beo lagi?”, usul salah seorang santri.
“nanti siapa sowan dan memberikan beo baru ke pak kiai?”
“kita berangkat bersama, biar nanti saya yang angkat bicara” tegas kang miftah.
Pundi-pundi rupiah telah terkumpul dari hasil patungan santri-santri, kang miftah dan kawan-kawan pergi ke pasar burung di kota dan mendapatkan seekor burung beo yang paling bagus dan cerdas dalam menirukan suara.
Tiba saatnya kang miftah sowan dikediaman kiai karim guna memberikan hadiah pelipur lara.
“pak kiai, kedatangan kami kesini dalam rangka memberikan burung beo ini yang kami beli atas inisiatif kami sendiri”
“kami melihat pak kiai murung dan terlihat begitu bersedih, setelah kami telusuri, burung beo itulah penyebab kesedihan pak kiai akhir-akhir ini”
Kata kang miftah mengawali pembicaraan.
“begini kang…”
Seraya menghela nafas, kiai karim ancang-ancang bermaksud menerangkan.
“Bukan semata-mata karena kematian burung beo itu aku bersedih. ketika mati, beo milikku mengorok keras seolah-olah putus segala saraf yang ada padanya, padahal semasa hidupnya, beo itu adalah temanku berdzikir pagi sore, kematiannya membuatku bersedih dan berfikir, jika beo yang menghabiskan hidupnya untuk berdzikir kepadanya saja harus mati dengan begitu menakutkan, tak ada satu pun kalimah dzikir yang keluar darinya, kalau beo ahli dzikir itu bisa mati sebegitu mirisnya, lantas bagaimana nasibku kelak? Khusnul khotimah-kah?
Kiai karim menceritakan semua tentang kematian beo tersebut dengan mata sembab dan masih ada banyak cucuran air mata beliau yang mau saja keluar dari lubang-lubang kecil dipojok matanya.
Kang miftah dan kawan-kawan yang ikut sowan ikut terenyuh mendengar cerita kiai karim barusan.

24-02-2015/05-05-1436

Tidak ada komentar: