Kiai karim adalah seorang kiai yang ‘alim, beliau punya banyak santri yang
menetap dipesantren asuhannya, meski seorang kiai, kiai karim punya hobby unik,
mengoleksi burung dan memeliharanya, sesekali setiap pagi selepas mengajar ngaji
beliau mendengarkan cuitan-cuitan burung koleksinya, diantara banyak burung
yang beliau miliki, burung beo-lah satu-satunya yang rutin mendapat perhatian dari kiai karim
Karena burung beo dapat menirukan suara
manusia, kiai karim mengajarinya dengan macam-macam dzikir, seusai mahir
“berdzikir”, setiap hari, pagi-sore beliau sempatkan sekira berapa waktu untuk
mendengarkannya, hitung-hitung ikut serta berdzikir bersama burung beo,
batinnya.
Hingga suatu ketika, beo yang kerap
menjadi teman berdzikirnya itu mati, kiai karim terlihat murung dan kurang
bergairah kala mengisi pengajian kitab dipesantren yang diasuhnya.
“semenjak kematian beo, kiai karim
tampaknya kurang bergairah ya kang?, sebagai santri kita harus melakukan
sesuatu agar kiai karim bisa mengajar seperti sedia kala”, ujar kang miftah,
salah seorang santri dipondok kiai karim.
“bagaimana kalau kita patungan buat beli
beo lagi?”, usul salah seorang santri.
“nanti siapa sowan dan memberikan beo
baru ke pak kiai?”
“kita berangkat bersama, biar nanti saya
yang angkat bicara” tegas kang miftah.
Pundi-pundi rupiah telah terkumpul dari
hasil patungan santri-santri, kang miftah dan kawan-kawan pergi ke pasar burung
di kota dan mendapatkan seekor burung beo yang paling bagus dan cerdas dalam
menirukan suara.
Tiba saatnya kang miftah sowan dikediaman
kiai karim guna memberikan hadiah pelipur lara.
“pak kiai, kedatangan kami kesini dalam rangka memberikan burung beo ini yang kami beli atas inisiatif kami sendiri”
“pak kiai, kedatangan kami kesini dalam rangka memberikan burung beo ini yang kami beli atas inisiatif kami sendiri”
“kami melihat pak kiai murung dan
terlihat begitu bersedih, setelah kami telusuri, burung beo itulah penyebab
kesedihan pak kiai akhir-akhir ini”
Kata kang miftah mengawali pembicaraan.
“begini kang…”
“begini kang…”
Seraya menghela nafas, kiai karim
ancang-ancang bermaksud menerangkan.
“Bukan semata-mata karena kematian burung
beo itu aku bersedih. ketika mati, beo milikku mengorok keras seolah-olah putus
segala saraf yang ada padanya, padahal semasa hidupnya, beo itu adalah temanku
berdzikir pagi sore, kematiannya membuatku bersedih dan berfikir, jika beo yang
menghabiskan hidupnya untuk berdzikir kepadanya saja harus mati dengan begitu
menakutkan, tak ada satu pun kalimah dzikir yang keluar darinya, kalau beo ahli
dzikir itu bisa mati sebegitu mirisnya, lantas bagaimana nasibku kelak? Khusnul
khotimah-kah?
Kiai karim menceritakan semua tentang
kematian beo tersebut dengan mata sembab dan masih ada banyak cucuran air mata
beliau yang mau saja keluar dari lubang-lubang kecil dipojok matanya.
Kang miftah dan kawan-kawan yang ikut
sowan ikut terenyuh mendengar cerita kiai karim barusan.
24-02-2015/05-05-1436
Tidak ada komentar:
Posting Komentar